Perolehan Hak Atas Tanah

Bookmark and Share

Pembaruan Agraria Sebagai Upaya Mengatasi Segketa Pertanahan

Pendahuluan

Tanah merupakan sumber daya penting dan strategis karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia yang sangat mendasar. Disamping itu tanah juga memiliki karakteristik yang bersifat multi-dimensi, multi-sektoral, multi-disiplin dan memiliki kompleksitas yang tinggi. Sebagaimana diketahui masalah tanah memang merupakan masalah yang sarat dengan berbagai kepentingan, baik ekonomi, sosial, politik, bahkan untuk Indonesia, tanah juga mempunyai nilai religius yang tidak dapat diukur secara ekonomis. Sifat konstan tanah dan terus bertambahnya manusia yang membutuhkan tanah semakin menambah tinggi nilai tanah. Dari waktu ke waktu, seiring dengan pertambahan penduduk, kemajuan teknologi dan industri, serta pergeseran budaya, jumlah kebutuhan akan tanah terus meningkat. Pergeseran budaya misalnya, telah merubah corak negara Indonesia yang dulu agraris menjadi negara yang secara perlahan mengarah pada negara Industri.
Tanah yang dulu menjadi sumber mata pencaharian utama sebagian besar rakyat khususnya di bidang pertanian, kini pemanfaatannya bergeser sebagai lahan yang diperuntukkan bagi industri dan perdagangan. Pola pemilikan dan penguasaan tanah juga semakin terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan. Keadaan ini berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat, khususnya yang penghidupannya bergantung pada tanah. Kebijakan pembangunan pemerintah yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan fokus pembangunan di bidang industri dan perdagangan, tanpa memperhatikan masalah agraria sebagai basis pembangunan telah berdampak pada alih fungsi tanah sekaligus magernalisasi masyarakat pedesaan.
Alih fungsi tanah juga terjadi di daerah perkotaan. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan khususnya di kota-kota besar, banyak lahan dan pemukiman penduduk di sekitar pusat pemerintahan dan pusat perdagangan beralih fungsi menjadi pabrik, pertokoan, atau fasilitas umum lainnya.
Meningkatnya kebutuhan akan tanah yang diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta membawa konsekuensi pada pemerintah untuk menyediakan lahan bagi kegiatan tersebut, sementara lahan yang tersedia bersifat terbatas. Keadaan ini memaksa pemerintah untuk melakukan pengambilalihan tanah rakyat. Dalam prakteknya pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta sering kali menjadi salah satu penyebab sengketa atas tanah yang terjadi di hamper seluruh wilayah Indonesia. baik berupa konflik yang disebabkan oleh pengalihan hak milik warga atau hak ulayat masyarakat adat untuk kegiatan pembangunan atau investasi maupun sengketa tanah yang melibatkan pihak aparat seperti TNI dan Kepolisian.
Data BPN menyebutkan sekitar 2.865 kasus sengketa tanah skala besar yang belum selesai dan berdampak pada terhambatnya penyelesaian pendaftaran dan pemberian hak atas tanah (Sinar Harapan:2007).  Tulisan ini mencoba untuk mengkaji apa yang menjadi akar permasalahan konlfik pertanahan di Indonesia dan upaya untuk mengatasi hal tersebut? Penggunaan Tanah Untuk Kegiatan PembangunanProblematika pengelolaan tanah muncul menjadi persoalan besar dan memburuk sejak diberlakukannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I yang merupakan titik awal pembangunan ekonomi melalui penerapan strategi pertumbuhan ekonomi (Mahanani, 2001: 21). Pelaksanaan strategi ini membutuhkan investasi dan modal besar melalui para investor baik domestik maupun asing, sedangkan kegiatan investasi itu sendiri memerlukan lahan sebagai sarananya baik melalui penggunaan tanah negara yang tersedia maupun melalui pengambilalihan tanah rakyat. Tindakan pengambilalihan tanah yang dilakukan oleh pemerintah tidak jarang dilakukan melalui cara-cara  yang otoriter dan pada akhirnya menempatkan rakyat dalam posisi yang berseberangan dengan pemerintah.
Implementasi strategi pembangunan nasional sangat berpengaruh pada pelaksanaan Hak Menguasai Negara yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu dengan menerapkan kebijakan pertanahan yang arah dan tujuannya untuk mendukung pelaksanaan pembangunan tersebut. Berbagai peraturan pertanahan dan peraturan lainnya yang memerlukan akses tanah cenderung mengedepankan kepentingan pemilik modal. Lemahnya posisi rakyat terutama terhadap akses informasi pertanahan seperti sertifikasi dan keterbatasan pengetahuan akan hak-hak yang dimilikinya menjadikannya sasaran kesewenang-wenangan. Tidak dapat dipungkiri pelaksanaan pembangunan mutlak memerlukan lahan sebagai salah satu prasarana, tetapi hal ini bukan berarti harus mengesampingkan hak-hak rakyat. Perencanaan pembangunan yang matang dan terarah dengan memperhatikan partisipasi masyarakat diharapkan akan mampu meminimalisir pertentangan dan perlawanan masyarakat yang merasa teraniaya hak-haknya. Hak Ulayat Untuk Kepentingan Investor.
Pemberlakuan UUPA sebagai langkah unifikasi hukum agraria dengan menempatkan hukum adat sebagai basisnya, pada tataran praktek justru mengesampingkan dan cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Tanah-tanah ulayat yang merupakan milik persekutuan adat dan dipergunakan untuk kepentingan hidup dan pembangunan masyarakat adat yang bersangkutan banyak yang digunakan untuk kepentingan sekelompok tertentu. Sebagai contoh pembukaan kawasan perkebunan di atas tanah hak ulayat atau penggunaan hutan adat untuk hutan industri yang hanya dapat dinikmati keuntungannya oleh pengusaha pemegang HPH saja, sementara masyarakat adat disekitarnya kehilangan hak untuk memungut hasil hutannya. Penyelewengan tujuan pemanfaatan sumberdaya alam sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat menjadi untuk kemakmuran golongan tertentu tersebut, jelas-jelas bertentangan dengan hak asasi manusia khususnya hak masyarakat adat untuk memperoleh penghidupan yang layak dari sumber kehidupan yang ada dilingkungannya. Hal ini selain disebabkan oleh penafsiran yang keliru terhadap peraturan yang ada juga dikarenakan banyaknya peraturan perundangan dan kebijakan lokal yang saling tumpang tindih dan berujung pada legitimasi praktek-praktek penyelewengan asas-asas yang terkandung dalam UUPA. Pasal 18 ayat (2) UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tegas negara mengakui dan memberikan pengakuan dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat termasuk hak-hak tradisionalnya. Hal ini merupakan bukti komitmen dan upaya dari Negara untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat (termasuk hak ulayat) yang selama ini terpinggirkan.           
Sangat disayangkan pengakuan terhadap hak ulayat lebih pada law in book, karena pelaksanaannya tidak jarang terbentur pada persyaratan diakuinya keberadaan hak ulayat itu sendiri yang mengharuskan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara. Pada tataran praktek pemanfaatan tanah hak ulayat untuk kepentingan pembangunan maupun investor melalui pola penguasaan tanah melalui Hak Guna Usaha (HGU) berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat pemegang hak ulayat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah selain tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melalui mekanisme pelepasan hak dan pengeluaran status kawasan. Hal ini merupakan perluasan pemberian alasan HGU berdasarkan UUPA.
Dalam praktek, penetapan HGU melalui mekanisme pelepasan hak justru didahului dengan paksaan dan klaim sepihak dari Negara, dengan mengabaikan transparansi, akuntibilitas, dan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan soal alokasi sumber-sumber agraria. Masalah ini juga terjadi dalam pola pengeluaran status kawasan hutan untuk alokasi tanah HGU. Penetapan tanah HGU di wilayah ini dapat dipastikan menimbulkan konflik dengan masyarakat lokal, baik soal penguasaan maupun masalah pengerjaan tanahnya. Terakhir, penetapan HGU di kawasan hutan ini menimbulkan masalah lingkungan yang parah. Konsep Hak Menguasai Negara dan Kepentingan UmumKetentuan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak warganegara atas tanah. Namun hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan haknya untuk kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD 1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA, sebagai peraturan dasar yang menjadi acuan dari keberadaan berbagai peraturan perundangan bidang pertanahan juga mengakui prinsip-prinsip yang menggariskan bahwa negara menjamin hak-hak masyarakat atas tanahnya dan memberikan  pengakuan atas  hak-hak atas tanah yang ada di masyarakat.
Hal ini menunjukan bahwa tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas tanah. Hal ini Pemerintah, kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang di dalamnya mengamanatkan kepada pemerintah  untuk melakukan berbagai hal baik menyangkut upaya penataan, penguasaan, pemilikan, penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang semuanya diletakan dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan, peruntukkan dan penyediaan tanah maka hak-hak privat yang terkristalisasi dalam berbagai hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 UUPA harus tunduk pada peraturan-peraturan yang didasarkan pada hak menguasai dari negara atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Termasuk dalam hal ini hak milik atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum.
Mengingat pengambilalihan tanah menyangkut hak-hak individu atau masyarakat, maka pengambilalihan tanah harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal. Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang universal adalah ‘no private property shall be taken for public use without just and fair compensation”, artinya  proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan kompensasi yang jujur dan adil (Landpolicy org:2005). Namun demikian dalam prakteknya prinsip-prinsip tersebut sering terabaikan dan pemerintah selaku penyelenggara negara lebih mengedepankan kekuasaannya dengan menggunakan tameng Hak Menguasai Negara dan kepentingan umum. 
Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan pemenuhan kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai pengganti Keppres No.55 Tahun 1991. Pada awalnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 menuai kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu luas dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk kegiatan pembangunan demi kepentingan umum.
Namun dengan dikeluarkannya Perpres no. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Perpres No. 36 Tahun 2005, definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan
berkepastian hukum, yaitu dengan berkurangnya jenis kepentingan umum dari 21 (duapuluh satu) menjadi 7 (tujuh) jenis serta penegasan pembatasan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh Pemerintah atau Pemda. Hal penting lainnya yang patut digaris bawahi, dalam Perpres tersebut tidak lagi dimungkinkan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Artinya pemerintah memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk tidak mengambilalih hak tanahnya secara paksa melainkan melaui mekanisme pelepasan atau penyerahan hak atas tanah yang dilakukan melalui musyawarah dan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.

Latar Belakang Masalah

1.                  Bencana kelaparan dan malnutrisi merupakan rural phenomenon. Sekitar 80%  manusia lapar di dunia ini tinggal di pedesaan. Bencana kekurangan pangan hamper selalu terjadi bukan di kota-kota melainkan di pedesaan tempat pangan dihasilkan. Inilah ironi peradaban manusia! Meskipun peperangan dan bencana alam kadang turut  menjadi sebab terjadinya kekurangan pangan, namun sebaghian besar bencana kurang pangan pada dasarnya disebabkan oleh alas an-alasan buatan manusia. sebagian besar proses-proses kemasyarakatan yang menjurs kea rah pemiskinan dan marjinalisasi soisal, berawal dari pengingkaran terhadap akses rakyat atas sumber-sumber produktif terutama.
2.                  perjuangan rakyat bawah, petani khususnya, dalam hal penguasaan tanah tetap berlanjut sebagai cirri utama konflik-konflik politik di berbagai belahan dunia. Setelah berakhirnya perang dingin akibat runtuhnya Negara-negara sosialis, maka gagasan-gagasan dan kebijakan-kebijakan liberalisasi, swastanisasi dan modernisasi menjadi arus pemikiran yang dominant. Bangkitnya kebijakan-kebijakan neo-liberal ini telah menciptakan suasana yang kurang kondusif bagi gagasan Reforma Agraria ( RA ).
3.                  Kebijakan “pembangunan” Orde Baru dari awal memang sudah salah, karena orde baru tidak meletakan masalah agrarian sebagai basis pembangunan. Ini berbeda dari, misalnya Jepang, Korea selatan, Taiwan, Mesir dan India. Akibatnya, kita semua telah menyaksikan bahwa dalam masa lebih dari separoh era kekuasaan orde baru, Indonesia diwarnai oleh maraknya kasus-kasus sengketa agrarian, yang kadang juga memakan korban manusia. Sengketa tersebut hamper meliputi seluruh wilayah, dan menyangkut semua sector. Berdasarkan laporan BP-KPA (2000), sekurang-kurangya terekam sebanyak 1.742 kasus sengketa tanah di Indonesia yang tersebar di 25 propinsi. Kemudian sengketa itu diikuti sebanyak 12 kasus penculikan, 24 kasus pembunuhan, 39 kasus penembakan, 151 kasus terror, 163 kasus penganiyayaan, 212 kasus intimidasi, dan 763 kasus penangkapan. Anehnya, kenyataan yang tak bisa dibantah ini ternyata belum cukup untuk membuka mata para elit nasional sekarang ini bahwa agrarian adalah masalah mendasar yang harus segera mendapat perhatian.

BEBERAPA KONDISI KEAGRARIAAN KITA

1.      Kondisi keagrariaan pada suatu masa, pada hakekatnya merupakan produk dari bekerjanya  empat factor yang saling berinteraksi, yaitu : (a) warisan sejarah: (b) dinamika internal; (c) campur tangan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan-nya dan (d) intervensi pihak luar, seperti, perusahaan-perusaan swasta besar domestic maupun asing, gerakan dari “ Transnational Corporation “ ( TNC ), badan-badan penyedia dana, dan lain sebagainnya.
2.      kita mewarisi suatu sejarah panjang keagrariaan yang telah membentuk wajah struktur agrarian kita terdiri dari : di satu sisi berupa pertanian rakyat dan di sisi lain berupa system perkebunan besar. Sedangkan “ pengusahaan hutan : secara histories merupakan gejala relative baru ( yaitu sejak orde baru ).
3.      pemerintah orde baru mengambil kebijakan politik dan ekonomi yang sama sekali bertolak belakang dengan pemerintahan sebelumnya. Orientasi yang menekankan pada : Berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan “ serta meletrakkan masalah pembaharuan agrarian sebagai basis pembangunan, telah diubah total menjadi : bertumpu pada yang kuat ( betting on the strong ), mengandalkan pada bantuan dan hutang dari luar negeri, serta mengundang modal asing. Dalam proses selanjutnya, kebijakan-kebijakan orde baru makin lama makin menunjukkan cirri khas yang saya sebut sebagai kebijakan “ rumah terbuka “. Kebijakab ini ibarat “ pucuk dicinta ulam tiba “ bagi kekuatan-kekuatan modal internasional. Bagi kepentingan ekspansi “ agribis”nya, mereka mengharapkan  terbukanya fasilitas-fasilitas penyediaan sumber-sumber agraria khususnya tanah. Orientasi pembangunan yang menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi, serta adanya keterikatan hutang, telah mendorong pemerintahan orde baru untuk memenuhi harapan mereka itu. UUPA 1960 masuk peti-es, dan lahirlah Undang-undang Pokok Kehutanan, Undang-undang Pokok Pertambangan, dan kebijakan-kebijakan lainnya, yang kemudian menjadikan berbagai peraturan/perundangan tumpang tindih dan simpang siur. Ketika tahun 1978 UUPA dikeluarkan lagi dari peti-es. “ nasi sudah menjai bubur “, dan justru UUPA dipakai secra menyimpang dari semangatnya semula. Atas dasar itu semua maka lahirlah “ Hak pengusahaan hutan ( HPH ), program-program PIR dengan berbagai jenis, kkonsesi-konsesi penangkapan ikan laut, dan lain sebagainya yang kesemuanya itu akhirnya membentuk wajah keagrariaan kita sekarang ini. Tetapi, bagaimanakah “ wajah “ tersebut ?
4.      sayangnya, di Indonesia, data keagrariaan yang lengkap, menyeluruh, dan akhurat, dapat dikatakan belum ada. Dengan demikian, yang bias dilakukan hanyalah gambaran “kasar” dan umum, serta tidak semua sector, sebagai berikut ini.
5.      Struktur penguasaan tanah usaha tani tanaman pangan sangat timpang. Dari hasil sensus pertanian 1993, terdapat gambaran bahwa sebanyak 43% dari jumlah rumah tangga pedesaan adalah tunakisma  ( Landles ). Pada ujung yang lain, 16 % dari rumah tangga pedesaan menguasai hanya 31 % dari luas tanah yang tersedia, dan 41 % rumah tangga menguasai hanya 31 %  dari luas tanah yang tersedia ( Lih.a.l.Suhidar dan Winarni, 1988 ).
6.      perkebunan. Menurut data dari DitJen perkebunan Dept.HutHun 2000, selama 30 tahun terakhir ( dari 1968 s/d 1998 ),. Luas areal perkebunan secara keseluruhan meningkat dari 4,96 juta Ha menjadi 14,67 juta Ha, yang rinciannya sebagai berikut.
Pada tahun 1997/1998, jumlah perkebunan besar itu ada 1338 kebun. Dari jumlah tersebut sebanyak 252 kebun merupakan kebun terlantar!


7.      Hutan Konversi itu pada tahun 1984 tinggal 8,4 juta Ha, karena sebagian besar sudah dikonversi dan digunakan untuk berbagai kepentingan non-kehutanan,  terutama untuk perkebunan dan transmigran.
8.      masih tentang kehutanan data per desember 1993 menunjukkan bahwa areal hutan yang dikuasai oleh  ± 570 pemegang HPH sudah mencapai kurang lebih 64,29 juta Hektar, dan kurang lebih 52 % dari sekian itu dikuasai hanya oleh 20 kelompok konglomerat.
9.      demikian sekelumit gambaran “ wajah “ agrarian kita dalam angka. Tapi apa makna data tersebut di atas? Walaupun hanya sekelumit, dan lepas dari akurat atau tidaknya angka-angka itu. Namun setidaknya, gambaran tersebut memberikan indikasi kuat tentang proses terjadinya dua gejala, yaitu :
a.       dalam hal alokasi pengadaan tanah, terjadi incompatibility ( ketidakserasian atau ketimpangan) sementara tanah-tanah pertanian pangan tergusur, areal perkebunan besar justru bertambah. Dominasi modal swasta atas pengadaan tanah telah menggeser kedudukan pemerintah jika dibandingkan dengan 30 tahun sebelumnya.
b.      Dalam hal sebaran penguasaan tanah di sector pangan pun terdapat ketimpangan yang sangat menyolok, suatu incompatibility yang parah.
10.  pengalaman sejara di berbagai Negara membuktikan bahwa sumberutamakonflik agrarian adalah terjadinya bermacam incompatilibitas (Christodoulou,1990), diantaranya yang penting adalah dua hal tersebut pelajaran bahwa dalam setuasi konflik itulah terdapat peluang besar yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM. namun hal yang sebaliknya pun terjadi pelanggaran HAM. dalam hubungan ini, beberapa macam pelanggarandapat di sebut .
              
a.       Menggusur tanah pertanian dari rakyat dengan dalih apapun, tanpa persetujuan rakyat apalagi dengan ganti rugi yang tidak layak adalah melanggar “hak untuk memperoleh pangan yang layak” {the right to adequate food}.
b.      Mendorong petani dengan bujukan apapun agar mereka menjual tanahnya, pada hakekatnya merupakan pelanggaran terhadap HAM petani, yaitu melanggar “hak untuk memberi makan kepada dirinya sendiri” {the right to feed oneself}.
Kedua hal tersebut {a dan b} dianggap pelanggaran, karena tanah merupakan sumber bagi “pangan yang layak” dan bagi kemampuan “memberi makan dirinya sendiri”.
c.       penggusuran dengan paksa yang disertai intimidasi,dan apalagi tindak kekerasan, adalah pelanggaran bukan saja terhadap hak asasi petani tapi juga HAM pada umumnya.
d.      Kebijakan-kebijaknan yang memungkinkan  lahirnya klaim atas kawasan hutan dengan asumsi seolah-olah kawasan tersebut tidak ada orang yang hidupnya tergantung dari hutan, adalah pelanggaran HAM yang paling mendasar, yaitu hak hidup”.

Kesimpulan

Pada dasarnya masyarakat tidak keberatan jika tanah miliknya harus diambilalih untuk kepentingan pembangunan yang tujuannya adalah untuk kesejahteraan bersama, Namun praktek-praktek pengambilalihan tanah selama ini seringkali dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk keuntungan sendiri dengan berkedok ‘kepentingan umum”, telah menciptakan keraguan pada masyarakat setiap kali ada kegiatan pengambilalihan tanah untuk kepentingan umum. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas, 16-17 Juni 2005, yang menyoroti sikap masyarakat terkait dengan masalah pembebasan tanah demi kepentingan umum. Sebagai sebuah langkah kebijakan publik, terlihat bahwa pada dasarnya upaya penggunaan lahan privat untuk tujuan kepentingan umum yang dilakukan pemerintah diakui publik berada di atas kepentingan individu. Oleh karena itu, meski diiringi ekspresi keengganan yang menonjol, publik tak menafikan upaya pembebasan tanah demi kepentingan umum. Sebagian besar responden (66 persen) menyatakan setuju dan hanya 30 persen responden yang tidak setuju. Namun sebagian besar respondern menyatakan keberatan jika harus mengalihkan tanahnya untuk swasta kecuali dengan ganti rugi yang memadai sebagaimana yang dikehendaki responden Pembaruan Agraria.
Permasalahan pertanahan merupakan hal yang harus segera ditangani karena pemanfaatan tanah merupakan masalah lintas sektoral yang perpengaruh terhadap perkembangan pembangunan. Untuk itu perlu segera dilakukan penataan kembali sektor pertanahan melalui program Gerakan Pembaharuan Agraria Nasional yang merupakan gerakan terpadu antar berbagai program yang akan merestrukturisasi penggunaan, pemanfaatan penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Pembaruan agraria menjadi prasyarat untuk mencapai keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, sangat diperlukan pemikiran ulang transformasi agraria melalui pendekatan pembaruan agraria sebagai sarana strategis pembangunan berkelanjutan yang berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Hal yang turut berperan penting dalam pembaruan agraria adalah sinkronisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang terkait dengan maslaah agraria
khususnya tanah, yaitu dengan mencabut peraturan yang bertentangan atau melakukan revisi atau dengan membuat aturan yang mengacu pada konstitusi. Konstitusi menjadi dasar dalam melakukan penataan kembali hukum agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip menghormati hak asasi manusia dan supremasi hukum yang mengakomodasi hukum adat, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam.
Sebagai langkah awal pembenahan hukum agraria, BPN dalam program kegiatannya merencanakan penyusunan RUU Hak Atas Tanah, RUU Pendaftaran Tanah, RUU Pendaftaran HGRAT, HGRBT, RUU Kadastral Kelautan dan beberapa Rancangan Peraturan Perundang-undangan, untuk terjaminnya kepastian hukum hak-hak atas Tanah.Diharapkan melalui penataan kembali hukum agrarian mampu mengatasi persoalan pertanahan yang ada dewasa ini.

{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }

Posting Komentar

Powered By Blogger